Senin, 23 Januari 2012

2011 TAHUN ADU NYALI

Oleh: Miftahul Adha *)


Kalimat pada judul tulisan ini pertama kali penulis lontarkan ketika rapat intern Subdivre Ponorogo dalam rangka persiapan menghadapi tahun pengadaan 2011, tentu “oleh-oleh” sepulang dari rapat kerja di Divre Jatim pada awal tahun 2011 yang lalu. Penulis melontarkan kalimat tersebut karena merasa tertantang dengan prognosa Ada tahun 2011 yang dikaitkan dengan kondisi lingkungan eksternal perusahaan yang dihantui anomali iklim dan ”kegamangan” berbagai pihak pemerhati pangan dan pertanian mamasuki tahun 2011, dan bahkan peringatan FAO tentang adanya krisis pangan global. Dan benar saja dalam perjalanan selama 2011 bukan hanya uji nyali bagi Subdivre Ponorogo tapi juga Divre Jatim dan Perum Bulog pada umumnya.

Jika pada salah satu stasiun TV ada acara ‘Uji Nyali’, itu konon berhadapan dengan makhluk di dunia lain, namun uji nyali dalam tulisan ini adalah berhadapan dengan dunia nyata diantara ketidakpastian pasar beras waktu itu yang berkembang cepat sehingga  nyaris merepotkan dan bahkan mengganggu kinerja Perum Bulog khususnya yang dirasakan di Subdivre Ponorogo dan Divre Jatim pada umumnya. Perkembangan harga yang terjadi tidak hanya mingguan akan setiap hari dan bahkan pada saat-saat tertentu, jika ada isu yang yang berkembang, perubahan dapat terjadi hanya dalam hitungan per jam. Dalam sehari bisa terjadi kenaikan harga dua sampai tiga kali, akibatnya terjadi kenaikan harga beras yang cukup tajam dibanding harga yang terjadi pada satu atau dua bulan sebelumnya. “Malih rego pak”, ucap seorang pedagang beras di salah satu pasar induk Kab. Ponorogo ketika dikonfirmasi kala itu, artinya, yang terjadi bukan kenaikan harga melainkan perubahan harga. Sehingga muncul pertanyaan besar dalam benak penulis kala itu, dapatkah Subdivre Ponorogo memenuhi target prognosa awal sebesar 100 ribu ton? Apakah prognosa Divre Jatim sebesar 1,1 juta ton juga dapat terpenuhi?

Kebijakan Antisipatif 

Truk UPGB Subdivre Ponorogo siap membeli gabah hasil 
panen program GP3K
Menyikapi warning dari FAO tentang adanya krisis pangan gobal, pemerintah meluncurkan Inpres No. 5 Tahun 2011 tentang Pengamanan Produksi Beras Nasional Dalam Menghadapi Kondisi Iklim Ekstrim. Kebijakan tersebut sebagai langkah antisipasi terjadinya gagal panen atau gangguan produksi dalam negeri. Sebagi tindak lanjut dari Inpres tersebut, Kementrian BUMN langsung bergerak dan membentuk konsursium BUMN dengan melibatkan perusahaan Negara di bidang pertanian, pangan, pupuk dan kehutanan yang didaulat untuk memproduksi beras. Hasil produksi gabah dan beras kemudian dijual ke Perum Bulog sebagi pembeli siaga (off taker). Program “keroyokan” inilah yang kemudian melahirkan program Gerakan Peningkatan Produksi Pangan berbasis Korporasi yang kita kenal dengan GP3K. Untuk menangkap peluang dari program ini, Perum Bulog telah mengambil langkah cepat dengan menginstruksikan segenap jajarannya agar segera berkoordinasi dengan dinas, instansi, dan lembaga pelaksana program GP3K. Disamping itu Perum Bulog juga menginstruksikan agar Divre maupun Subdivre melakukan koordinasi dengan Dinas Pertanian setempat dalam program SLPTT dengan menginventarisir luas lahan, Gapoktan, lokasi, dan jadwal panen serta melakukan pengawalan dalam pelaksanaannya. Instruksi tersebut penting dalam rangka meningkatkan penyerapan pengadaan gabah / beras di gudang-gudang Bulog. 

Tidak cukup sampai di situ, untuk mengantisipasi gangguan produksi dan kenaikan harga gabah / beras, disusul kemudian Inpres Nomor 8 tahun 2011 tentang Kebijakan Pengamanan Cadangan Beras Yang Dikelola Oleh Pemerintah Dalam Menghadapi Kondisi Iklim Ekstrim. Kebijakan ini menurut anggapan pengamat memberikan keleluasaan bagi Perum Bulog untuk membeli dan menyerap gabah / beras hasil produksi petani sebanyak-banyaknya. Apakah anggapan ini tepat? Jika dikaitkan dengan diktum ke-empat point dua Inpres tersebut yang menyebutkan bahwa “dalam hal harga pasar gabah / beras lebih tinggi dari HPP, pembelian gabah / beras dapat dilakukan oleh Perum Bulog pada harga yang lebih tinggi dari HPP dengan memperhatikan harga pasar yang dicatat oleh Badan Pusat Statistik”, maka dengan cepat kita dapat menjawab bahwa anggapan tersebut tidak tepat. Perum Bulog tidak dapat dengan mudah dan cepat menyesuaikan harga pembelian karena masih harus menggunakan acuan harga dari BPS pada periode itu. Padahal pada hari-hari berikunya perkembangan harga terjadi begitu cepat, alhasil kebijakan tambahan harga pembelian seringkali hanya efektif dalam 2 sampai 3 minggu ke depan saja, setelah itu harga gabah / beras naik lagi. Parahnya lagi, harga gabah/ beras yang terjadi di pasar sudah ada di depan kebijakan tambahan harga yang baru turun. Dengan kata lain, kenaikan harga kadang terjadi sebelum kebijakan tambahan harga turun ke daerah.

Lepas dari kondisi di atas, bagaimanapun juga kebijakan tambahan harga cukup membantu upaya peningkatan penyerapan Ada gabah / beras  dan 2011. Tidak dapat dibayangkan apa jadinya jika kebijakan itu tidak ada. Sebelum ada tambahan harga, sampai dengan tanggal 23 Maret 2011, realisasi ADA DN Divre Jatim baru mencapai 67.500 ton setara beras (Tabel 1). Barangkali itulah uji nyali bagi Pemerintah dan khususnya Perum Bulog sebagi pelaksana kebijakan.

Tabel 1. Realisasi Pengadaan s/d 23 Maret 2011 dan pada Periode yang Sama DI Tahun 2010 
Satuan: Ton
UNIT KERJA
REALISASI 2011
REALISASI 2010
GABAH
BERAS
SETARA BERAS
SETARA BERAS
Subdivre Ponorogo
                 6,906
                 1,335
                 5,721
                 1,212
Divre Jatim
               66,982
               24,956
               67,490
               35,027
                                                                                     





Kondisi dan Implementasi Kebijakan
Kunjungan Kerja Dirut Perum Bulog di Subdivre Ponorogo (05 Pebruari 2011)
Seperti yang disampaikan oleh Bapak Sutarto Alimuso ketika melakukan kunjungan kerja dan peninjauan lapangan ke Subdivre Ponorogo bahwa kita sebaga insan Bulog harus bekerja dengan keras dan cerdas. Pesan ini menyiratkan arti bahwa kita harus bekerja dengan sungguh-sungguh dengan mencermati situasi dan kondisi alam tempat kita bekerja. Situasi dan kondisi tanam pada awal tahun 2011 seolah mengisyaratkan optimisme, karena sepintas dari pemantauan lapangan terlihat tanaman padi di sawah-sawah petani tumbuh subur menghijau, produksi padi diperkirakan melimpah, paling tidak satu atau dua bulan lagi sudah siap dipanen. Namun saat panen raya tiba, harga gabah yang biasanya anjlok tidak terjadi, harga masih bertahan tetap seperti saat belum panen. Gabah / beras  yang diharapkan mengalir masuk ke gudang di awal panen masih sangat kecil, sampai dengan bulan Maret 2011 realisasi ADA DN Subdivre Ponorogo baru mencapai ± 6000 ton setara beras. Begitupun pada hari-hari berikutnya, realisasi pemasukan di gudang masih berjalan lambat, walaupun ada kebijakan pengadaan beras komersial sebagai alternatif pilihan bagi Mitra Kerja dan kebijakan tambahan harga pengadaan, tapi itu pun tidak banyak membantu. Ada dugaan waktu itu bahwa di samping ada serangan hama yang mengakibatkan produksi turun hingga 30 %, hasil panen di wilayah Jatim bayak terserap ke pasar lokal dan antar wilayah karena persediaan di masyarakat menipis dan panen di Jatim terjadi lebih awal dibanding di wilayah lain.  Wallahu ‘alam.... sehingga realisasi pengadaan sampai semester I di Divre Jatim mencapai 311.205 ton setara beras. (Tabel 2)

Tabel 2. Realisasi Pengadaan s/d 30 Juni 2011 dan pada Periode yang Sama DI Tahun 2010
Satuan:Ton
UNIT KERJA
REALISASI 2011
REALISASI 2010
GABAH
BERAS
BERAS KOMERSIAL
SETARA BERAS
SETARA BERAS
Subdivre Ponorogo
           15,414
               8,616
            
  2,374
             20,779
             
  31,402
Divre Jatim
            134,026
            143,780
        
    82,319
            311,205

              543,460

Memasuki semester II dan dengan menyadari kondisi yang dihadapi, seluruh jajaran Subdivre juga telah melakukan berbagai upaya dengan mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki untuk dapat meningkatkan penyerapan gabah/ beras di gudang. Untuk itulah di Subdivre Ponorogo dibentuk Tim Peningkatan Penyerapan Pengadaan DN (TP3DN) di bawah koordinasi Wakasub. Tim ini dibentuk agar segenap daya, kemampuan, dan potensi yang ada dapat lebih fokus, terkoordinasi, dan terintegrasi dengan baik guna menangkap peluang untuk mencapai sasaran yaitu peningkatan penyerapan gabah / beras Dalam Negeri. Pada prinsipnya tim ini bertugas melakukan langkah-langkah yang lebih teknis, lebih konkrit, terintegrasi, dan fokus pada penyerapan guna pemupukan stok, mul;ai dari melakukan inventarisasi data panen, produksi, harga, sampai pada pengawalan program-program pemerintah seperti Progran GP3K, SLPTT, dan P2BN dengan mengoptimalkan peran UPGB dan Satgas dalam membangun jaringan dengan petani, kelompok tani, dan gapoktan bahkan dengan penebas serta pembinaan terhadap Mitra Kerja. Sekarang sudah tidak jamannya lagi bekerja di Bulog dengan hanya duduk manis di kantor.

Pelaksanaan program GP3K yang telah dirintis melalui koordinasi dan penandatanganan nota kesepahaman dengan peserta program GP3K (PT. Petrokimia Wil. Ex. Karesidenan Madiun, Distributor pupuk, KTNA, Gapoktan, dan Poktan) belum berhasil karena beberapa alasan a.l: pertama, terbatasnya lahan untuk program GP3K. Karena tidak semua BUMN melaksanakn program GP3K di wil. Subdivre Ponorogo. Dari data yang ada tentang program GP3K di wilayah Subdivre Ponorogo, lahan untuk GP3K tercatat ± 720 Ha, namun ternyata tidak semua lahan tersebut diproduksi untuk program GP3K. Kedua, kerapkali tidak terjadi kesepakatan mengenai harga, ketiga, produksi GP3K ketika akan panen tiba-tiba dialihkan menjadi produksi benih unggul PT. Petrokimia (kasus di Ds. Mlilir, Kec. Dolopo, Kab. Madiun). Alhasil sampai dengan akhir tahun 2011, dari program GP3K ini Subdivre Ponorogo bersama UPGB nya hanya memperopleh gabah ± 86 ton, itupun sebagian hasil dari berburu di luar wilayah kerja Subdivre Ponorogo.

Dari program SLPTT dan P2BN yang telah dikoordinasikan dengan Dinas Pertanian setempat juga tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Karena dari hasil monitoring dan pengawalan terhadap program ini dilaporkan bahwa:
1.      Program SLPTT tidak dapat dilaksanakan pada MT-I karena saat musim tanam akan dimulai, juknis, anggaran serta sarana seperti bibit dan pupuk terlambat sampai di tangan petani, sehingga program ini dijadwal ulang pada MT berikutnya.
2.      Penggunaan benih hibrida yang rentan terhadap hama dan tidak disukai petani.
3.      Petani mengalami trauma terhadap serangan hama yang terjadi pada musim sebelumnya.

Sehingga dengan demikian upaya peningkatan penyerapan pengadaan DN praktis hanya mengandalkan kebijakan tambahan harga pembelian gabah / beras dengan mengoptimalkan peran UPGB dan beberapa Mitra Kerja potensial. Sampai dengan akhir tahun, realisasi pengadaan Subdivre Ponorogo mencapai angka 33.137 ton atau 55,22% dari revisi prognosa 60.000 ton (Tabel 3). Walaupun pencapaian ini tidak memenuhi prognosa tapi berhasil melewati ”uji nyali” dalam memenuhi kebutuhan penyaluran sendiri bahkan sempat memebantu Subdivre lain yang mengalami defisit stok beras melalui Move Regional dan Raskin Antar Wilayah.

Tabel 3. Realisasi Pengadaan s/d 31 Desember 2011 dan pada Periode yang Sama DI Tahun 2010
Satuan:Ton
UNIT KERJA
REALISASI ADA
REALISASI 2010
GABAH
BERAS
BERAS KOMERSIAL
SETARA BERAS
SETARA BERAS
Subdivre Ponorogo
             29,454
             12,060
               2,374
             33,138
                40,306
Divre Jatim
            232,705
            181,615
             82,379
            411,762
              603,839



Penutup
Fenomena 2011 yang dialami Subdivre Ponorogo barangkali juga dialami oleh Subdivre yang lain di wilayah Jawa Timur atau bahkan di Subdivre seluruh Indonesia pada umumnya. Sehingga paling tidak pengalaman sulit di tahun 2011 dapat dijadikan pelajaran berharga untuk lebih siap dan sigap menghadapi berbagai kondisi dan kesulitan dalam operasional kita. Karena ternyata bukan hanya Subdivre Ponorogo saja yang menghadapi “Uji Nyali”, tetapi juga Subdivre yang lain khususnya di Subdivre-Subdivre di Jatim yang pada hari-hari terakhir di tahun 2011 mampu “menggenjot” pengadaan lebih besar dan berhasil menyalurkan Raskin 100% dari persediaan beras yang dikuasai pada saat injury time.


Jemput bola”, siap menjadi penebas gabah petani
Paling tidak ada hikmah yang dapat kita petik dari pengalaman 2011 antara lain bagaimana kita mempersiapkan langkah strategis seperti: pertama, strategi penetapan kebijakan tambahan harga pengadaan, menyangkut waktu dan besarannya sehingga kebijakan ini dapat efektif. Kedua, strategi implementasi pelaksanaan program pemerintah yang lebih terintegrasi dalam peningkatan penyerapan pengadaan gabah/ beras, dan yang ketiga, mempersiapkan SDM yang lebih siaga dan siap menjemput ”bola” hingga harus menjadi penebas di tengah sawah sekalipun.

Mari kita songsong tahun 2012 dengan penuh semangat dengan bekerja, bekerja, dan bekerja.


*Subdivre Ponorogo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar